Foto: Dosen senior Fakultas Hukum Unsrat Manado Eugenius Paransi SH MH.
ONLINEBRITA.COM, TOMOHON – Ahli Hukum Unsrat Manado Eugenius Paransi SH MH menganggap gugatan sengketa Pilkada Tomohon 2024 dari WLMM ke Mahkamah Konstitusi cacat formil.
Dia menilai gugatan sengketa yang mereka ajukan kemungkinan tidak akan diterima oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
“Saya melihat bahwa gugatan yang diajukan WLMM adalah cacat formil atau cacat prosedural karena tidak memenuhi syarat formil. Karena itu, saya melihat bahwa gugatan itu berpotensi besar tidak dapat diterima,” ucap Dosen Fakultas Hukum Unsrat ini, Kamis malam (02/01/2024).
Eugenius juga menganggap dalil kecurangan yang diajukan WLMM ke MK salah alamat. Dia menjelaskan dugaan kecurangan yang dimaksud seharusnya dilaporkan ke Bawaslu saat dalam proses tahapan Pilkada.
“Tidak di MK. Jadi, dengan demikian dengan mereka mengajukan ke MK, tapi dasarnya adalah mengenai pelanggaran-pelanggaran, maka itu adalah salah kamar,” ujarnya.
Menurut Eugenius, permintaan itu tidak masuk dalam kewenangan MK. Gugatan sengketa Pilkada 2024 di MK, kata dia, hanya seputar hasil penghitungan suara atau terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pilkada. Hal itu sudah diatur dalam UU Nomor 1 tahun 2015 tentang Pilkada juncto nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota.
Eugenius mengatakan, bahwa gugatan sengketa juga harus didukung oleh bukti, saksi dan saksi ahli yang lengkap. MK hanya menangani sengketa hasil pemilihan dengan syarat dan ketentuan yang telah diatur oleh UU, dan didukung oleh bukti serta saksi yang lengkap.
Syarat utama yang harus terpenuhi untuk layak diproses dalam sidang MK adalah soal waktu. Pemohon harus mengajukan gugatan dalam waktu 3×24 jam sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan hasil pemilihan.
Syarat lainnya yang harus terpenuhi juga adalah soal selisih suara. UU Pilkada telah mengatur patokan selisih suara yang bisa mengajukan gugatan.
“Ada patokan selisih suara yang disengketakan dengan pedoman kepada jumlah penduduk di daerah tersebut,” terangnya.
Untuk provinsi yang jumlah penduduknya dibawah 2 juta, syarat selisih suara adalah 2 persen. Untuk provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta sampai 6 juta, selisih suara 1,5 persen dan 6 juta sampai 12 juta selisihnya 1 persen serta diatas 12 juta selisihnya 0,5 persen.
Sedangkan untuk Kabupaten/Kota, jumlah penduduk dibawah 150 ribu selisih suara yang bisa disengketakan adalah 2 persen, 150 ribu sampai 250 ribu 1,5 persen, 250 ribu sampai 500 ribu 1 persen dan diatas 500 ribu selisihnya 0,5 persen. “Selisih suara di luar ketentuan itu tidak akan diproses,” ulasnya.
“Jadi, syarat formilnya dibawah 2%, sedangkan selisih hasil pemilihan telah melebihi 2%,” sebutnya.
Lanjut kata Eugenius, bahwa ruang lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) saat ini hanya dalam soal perkara Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP).
“Tak hanya itu, MK juga memberi patokan yang jelas tentang selisih suara yang bisa dijadikan gugatan,” bebernya.
Ia juga mengungkapkan, bahwa selama ini pintu masuk gugatan sengketa pilkada ke MK selalu dari pelanggaran. Batasan selisih suara tersebut diterapkan agar tidak setiap hasil pemilihan langsung digugat ke MK.
Diakhir pendapat hukum-nya, Ia menyebutkan kini terobosan brilian yang dilakukan MK pada bentuk pelanggaran TSM (Terstruktur, Sistimatis, Masiv).
“Tapi, jika hal ini tidak bisa dibuktikan secara jelas, maka gugatan tersebut akan gugur dan di tolak demi hukum,” pungkasnya.(*/jp)