ONLINEBRITA.COM, INTERNATIONAL – Di sebuah kota kecil bernama Kotamobagu, banyak pemuda bermimpi tentang masa depan yang lebih cerah. Namun tidak semua berani melangkah sejauh Joshua Denis Wullur—atau yang akrab disapa Jojo Swag.
Putra tercinta dari pasangan suami istri Reza David Wullur dan Yoko Mokoginta ini, setelah mengenakan toga Sarjana di Universitas Jayabaya Jakarta, Jojo pulang ke rumah orang tuanya di Sulawesi Utara dengan secercah harapan dan beban pertanyaan besar: “Apa langkah hidupku berikutnya?” ungkapnya
Tidak pernah terbayang oleh seorang lulusan sarjana hukum di Universitas Jayabaya bahwa hidup berikutnya akan dihabiskan di lahan pertanian. Namun begitulah pilihan yang Jojo ambil. Ia menanam jagung di area pekuburan keturunan Tionghoa di puncak Gunung Ilongkow, Kotobangon. Tinggi, sunyi, dan jauh dari hiruk pikuk kota besar tempat ia menimba ilmu.
Selama dua tahun, ia merawat tanah dan jagungnya sambil menunggu kesempatan kerja yang tak kunjung datang. Harapan yang perlahan menipis membuatnya mulai bertanya pada diri sendiri: Apakah ini masa depan yang kuimpikan?
Jawabannya datang dalam rasa lelah dan keputusasaan. Pendapatan yang tak menentu membuatnya meletakkan cangkul, menutup lembar pertanian, dan menghadapi kenyataan pahit: dirinya kembali menjadi pengangguran.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan nongkrong dan keluyuran, tanpa arah, tanpa tujuan. Hingga pada suatu ketika, keheningan memaksanya berpikir lebih jauh tentang masa depan.
“Setiap hari hidup nggak ada arah,” kenangnya.
Di titik itulah sebuah keputusan nekat mulai terbentuk. Keputusan yang akan mengubah seluruh jalan hidupnya: ia memilih merantau.
Australia bukan tujuan spontan. Ia mendengar peluang, mencium harapan, dan tanpa menunda lebih lama, memutuskan untuk pergi. Januari 2025, Jojo pamit pada orang tua dan pacar tercintanya. Ia terbang meninggalkan tanah kelahiran, membawa satu koper, keberanian, dan keinginan kuat untuk mengubah nasib.
“Saya ingin keluar dari zona nyaman jadi pengangguran terus di Kotamobagu,” katanya, mengenang titik balik itu.
Mimpi tak pernah terbentuk dari jalan mulus. Semua proses menuju Australia kata adik tercita Violenzia yang mana ia urus sendiri: dokumen, tes kesehatan, hingga tiket pesawat. Tanpa agen, tanpa pendamping.
Namun ujian sebenarnya baru dimulai ketika ia tiba. Aksen lokal Australia membuatnya berkali-kali mengerutkan dahi. “Cepat sekali, beda dengan bahasa Inggris yang saya pelajari,” ujarnya sambil tertawa.
Belum lagi cuaca dingin yang menusuk tulang. Jojo datang tepat saat musim dingin. Tubuh tropisnya dipaksa menyesuaikan. “Awalnya kaget. Tapi lama-lama terbiasa juga,” ucapnya.
Tak menunggu waktu lama, Jojo mulai berburu pekerjaan. Dengan CV dicetak seadanya, ia berjalan dari kafe ke kafe, dari toko ke toko. Tanpa amplop, tanpa formalitas berlebihan.
“Di sini proses cari kerja lebih simpel,” kata Jojo. CV cukup berisi data diri, pengalaman, dan nomor kontak—tanpa foto, tanpa fotokopi ijazah.
Beberapa tempat kerja bahkan menerapkan trial tiga jam. Jika cocok, diterima. Jika tidak, tidak ada drama.
Kerja keras kakak tercinta Nicole Wullur ini berbuah hasil. Ia diterima sebagai pelayan restoran, lalu akhirnya bekerja di sebuah pabrik daging besar. Penghasilannya? Sekitar Rp70 juta per bulan.
“Dengan upah segitu, saya bisa menabung dan beli apa yang saya mau dan membantu orang tua saya untuk menopang biaya kuliah adik saya,” katanya bangga.
Tapi lebih dari uang, Jojo merasakan penghargaan. Australia punya sistem kerja yang jelas: jam kerja disiplin, waktu istirahat wajib, lembur dibayar setimpal, dan aturan perundungan ditegakkan ketat. “Saya merasa dihargai sebagai pekerja. Tidak ada diskriminasi,” tuturnya.
Kini, Jojo telah menapaki hidup baru di Australia—jauh dari ladang jagung, jauh dari keraguan, jauh dari masa tanpa arah. Ia menyampaikan pesan sederhana namun penting untuk generasi muda yang ingin merantau:
“Kumpulkan informasi sebanyak mungkin. Jalani prosesnya dengan sabar. Sekarang informasi itu mudah—ada YouTube, media sosial, Google, atau teman yang lebih dulu berangkat.”
Dari puncak Gunung Ilongkow hingga ke restoran dan pabrik besar di negeri maju, perjalanan Joshua Denis Wullur mengajarkan satu hal: perubahan besar sering lahir dari keputusan nekat yang diambil di titik paling rendah seseorang.
Dan bagi Jojo Swag, keputusan nekat itu kini menjelma menjadi masa depan yang orang tua dan kakak dan adiknya banggakan. (***/David)






