ONLINEBRITA.COM, MANADO – Ada tren menarik yang terjadi di pemerintahan Indonesia, di mana beberapa kewenangan yang tadinya dikelola oleh pemerintah daerah, kini diambil alih oleh pemerintah pusat.
Ini memang terdengar aneh karena bertentangan dengan semangat Undang-Undang Otonomi Daerah, yakni memberikan kemandirian kepada daerah.
Hal ini diungkapkan oleh Dr Ferry Daud Liando, seorang akademisi yang juga Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), saat menjadi narasumber dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPD) RI.
Acara yang disiarkan langsung melalui YouTube pada Rabu, 17 September 2025 itu, dihadiri oleh para anggota dan staf ahli DPD RI.
Menurut Liando, otonomi daerah seharusnya memberikan kewenangan penuh kepada daerah untuk mengelola pemerintahannya sendiri.
Sebagian besar urusan, kecuali urusan luar negeri, fiskal, agama, dan hukum, diserahkan sepenuhnya ke daerah.
Namun, berdasarkan evaluasi banyak yang dinilai gagal mengelola daerahnya sehingga belum memberikan dampak pada kesejahteraan masyarakat.
Angka kemiskinan dan pengangguran masih tinggi, pembangunan fisik berjalan lambat, dan pengelolaan potensi daerah pun belum optimal untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Lebih parah lagi, Liando menyoroti bobroknya tata kelola di tingkat daerah.
Pejabat dan elite politik yang terpilih sering kali tidak profesional, tidak inovatif, bahkan banyak yang terjerat kasus korupsi.
Perizinan diobral tanpa kajian mendalam, merusak lingkungan dan sumber daya alam.
Infrastruktur buruk karena dugaan “main mata” dalam proses lelang.
Bahkan, pengangkatan pejabat lebih didasarkan pada loyalitas politik ketimbang profesionalitas, dan hubungan antara kepala daerah dan wakilnya pun sering tidak harmonis.
Melihat kondisi ini, pemerintah pusat merasa harus bertindak.
Untuk menyelamatkan daerah, satu per satu kewenangan yang tadinya ada di tangan pemerintah daerah kini ditarik kembali.
“Memang, maunya UU Otda, seharusnya daerah mandiri. Tapi kenyataannya, banyak pengelola daerah yang belum paham, belum punya pengalaman, dan belum profesional mengelola daerahnya,” ujar Liando.
“Harusnya penarikan kewenangan ini dapat disebut melanggar UU Otda. Tapi di sisi lain, tindakan ini dapat saja dimaklumi karena harus menyelamatkan daerah,” sambungnya.
Sejauh ini, kewenangan yang sudah ditarik kembali antara lain terkait perizinan, pengelolaan keuangan, dan pengangkatan pejabat.
Lalu, apa solusinya agar sentralisasi tidak semakin kuat?
Liando memberikan usul tegas: partai politik harus serius mempersiapkan kader-kader yang profesional jauh sebelum Pilkada dan Pemilu dimulai.
Kebiasaan buruk parpol yang sering kali baru menyiapkan calon menjelang detik-detik akhir, ditambah lagi dengan adanya mahar politik memicu lahirnya aktor-aktor politik yang tidak siap mengelola daerahnya.
Demikian juga tidak tegasnya dalam memberantas jual-beli suara juga memicu terpilihnya aktor-aktor politik yang tidak berkarakter dan hanya akan memanfaatkan jabatan politiknya untuk memperkaya diri sendiri.
Padahal, Liando yakin, di luar sana ada banyak calon yang punya rekam jejak baik, pengalaman kepemimpinan mumpuni, dan moralitas yang tinggi.
Namun, karena mereka enggan membeli suara atau menghalalkan segala cara untuk menang, mereka sulit bersaing dan terpilih.
Rapat RDPU ini dipimpin oleh Ketua BULD, Ir Stefanus BAN Liow, Marthin Billa, Abdul Hamid, dan Agita Nurfianti.
Liow mengapresiasi pandangan dan pemikiran para narasumber, yakni Dr Halilul Khairi. S Sos. M.Si. (pakar ilmu pemerintahan dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri); Dr. Ferry Daud M. Liando, S.IP, M.Si. (pakar tata kelola pemerintahan daerah dan desa dari FISIP Unsrat); dan Dr Intsiawati Ayus, S.H, M.H, (Wakil Ketua Umum DPP Desa Bersatu).(*)